Oleh. : Afridany Ramli
Karyawan Swastas, berdomisili di Pasi
Ie Leubeue. Kecamatan Kembang Tanjong. Sigli Aceh
"Perceraian
adalah hal yang paling pahit," katanya suatu ketika. Aku kembali ingat padanya.
Namanya Tania. Perempuan yang pernah mengisi hari-hari yang telah kulewati beberapa
tahun silam.
*****
Sore
itu di pasar simpang, telah terjadi pencurian. Orang-orang mengabarkan bahwa
pelaku penjambretan adalah perempuan bercadar. Selepas menunaikan salat Ashar, Tania
melakukan rutinitasnya berbelanja. Desas-desus tentang pencurian semakin
menyeruak. Hingga terngiang sampai ke telinganya.
Di
rumah mewah itu kami hidup bersama. Tapi dalam kurun waktu yang tak lama. Kami
berpisah lantaran Ayahnya menggugat cerai.
"Lelaki macam apa kalau mandul."
Cetus bapaknya. Aku mendengar langsung dari mulut Ayahnya berbicara.
Dari
pasar aku mengikutinya. Begitu sampai di pintu pagar aku menyapanya. Sebelum
memeriksa aku sempat meminta maaf pada Tania. Dia menurunkan keranjang
belanjaan dan mempersilahkanku masuk ke
rumahnya.
"Silahkan
Pak.!" Aku melangkah pelan.
"Siapa
Nak?" Tanya Ayahnya yang berdiri di ambang pintu.
"Tamu
Pak."
"Suruh
dia masuk!"
"Ada
yang bisa kami bantu Pak?" Tanya Ayahnya.
Tania
menuju ke dapur. Sesaat dia membawa nampan berisikan teh. Tania melayani aku
sebagai seorang tamu. Perasaanku tidak menaruh curiga sedikti pun padanya.
"Begini
Pak. Kami mendapat laporan ada penjambretan. Pelakunya perempuan bercadar.
Anehnya, cara dia melakukannya yaitu dengan cara melakukan hipnotis."
"Ooh,"
kepala Bapak manggut-manggut.
"Kapan
kejadiannya."
"Minggu
lepas sebelum hari pekan."
"Tania...!"
Seru Ayahnya.
"Iya
Pak...!"
"Sebentar,
kemari kayaknya Bapak Polisi ini ada sedikit urusan denganmu." Tania
berjalan. Cadarnya sudah dilepaskan. Semenjak itulah aku jatuh cinta melihatnya.
Melepaskan cadar membuat Tania benar-benar molek.
"Ada
yang bisa saya bantu Pak?" tanya Tania sambil memilih duduk tepat di
depanku.
"Kami
mendapat laporan bahwa ada penjambretan di pasar. Dan pelakunya adalah
perempuan bercadar. Kalau tidak keberatan bukankah ibu Tania selama ini memakai
cadar?"
"Benar
Pak. Tapi menurut Bapak, apakah mungkin Anda begitu serius sama saya Pak."
"Aku
semakin penasaran." Jawabku. "Pertanyaan Tania malah membuatku
seperti seorang perempuan yang belum kulihat sebelumnya." Tania menunduk.
Tidak
lama setelah itu kami saling bertemu. Lalu, kasus itu seakan redup bersama
hembusan sang bayu. Seiring perjalanan hubunganku dengan Tania. Tiga bulan
pasca pertemuan kami hari itu, aku melamarnya. Bukan suatu alasan bagi Tania untuk
menolak lamaranku. Alasannya sederhana. Kami sudah saling kenal satu sama lain.
Tidak
berselang lama. Kami pun sepakat untuk melakukan akad nikah sekaligus resepsi
pernikahan. Saat itu aku masih bertugas di Polsek Kota dan benar-benar suatu
kebahagian bagiku dapat mempersunting perempuan terhormat seperti dirinya.
Setelah
selesai acara akad nikah sekaligus resepsi. Semua keluarganya berkumpul. Tidak
kurang dari saudaranya yang ikut pulang dari luar negeri. Malam itu aku sempat
ditinggal sendirian di kamar pengantin. Tania sibuk mengurus kado dan hadiah
dari teman-temannya.
Malam
pertama tidak ada sebauh kecupan seperti yang kuharapkan. Sedangkan aku
mengecup keningnya sebagai pertanda bahwa dia sudah sah menjadi istriku. Mata
cokelatnya yang masih berinak kehijauan memaksanya untuk berpejam. Tania tertidur.
Esok
pagi. Fatimah Janum ibu mertuaku sudah menyiapkan sarapan. Di meja makan sudah terhidangkan pisang, nasi goreng dan segelas
susu panas. Seperti biasa pagi hari tanpa sarapan aku akan sakit perut. Masakan
ibu mertua selalu enak untuk disantap.
Aku
keluar sesudah mengenakan seragam dinasku. Dan menyelipkan sepucuk pistol di
sarung sebelah kiri pinggang. Tanpa pamit Tania masih tertidur. Kunyalakan mesin
dengan gesit mobil itu berputar. Mengaspal sepanjang jalan.
Dalam
perjalanan aku teringat beberapa kasus yang kutangani. Termasuk perempuan
misterius bercadar. Sebagaimana laporan warga dia bisa menghipnotis. Pikiran
itu mulai menyergah pikiranku tak karuan. Aku kembali teringat peristiwa yang
belum terkuak. Kasus yang masih bungkam. Selain Tania tidak ada perempuan lain
bercadar.
Setiba
di kantor. Aku meneken Absen lalu masuk ruang. Hanya beberapa saat setelah
menyelesaikan beberapa tugas yang kira-kira penting aku kembali keluar.
Menyusuri jalan kota suatu keindahan. Siang hari aku pulang. Aku merindukannya.
Siang itu dia memakai bendo warna pink.
Dia
mulai menampakkan dirinya sebagai seorang istri. Melepaskan seragamku, bahkan
sepatuku dengan baik. Dia meminta lekas mandi makan. Hidangan makan siang sudah
dipersiapkan ibu.
"Apakah
kau mau ikut keluar kota?"
"Baiklah,"
sambutnya senang.
"Kita
ke Danau Toba." Kataku.
"Bagaimana
kalau ke Bali saja?"
"Aku
kurang berkenan."
"Kalau
begitu kita batalkan saja. Lagi pula di sini kan juga bisa bertamasya."
"Ooh,
boleh juga sekaligus bulan madu" kataku sembari tersenyum, "tidak
mengapa kalau memang kita tidak sependapat. Dan aku menuruti saja keinginanmu."
Sambungku.
"Tidak
usah repot-repot. Berbulan madu itu bukan mesti disana. Tapi untuk sampai ke
bulan kita cukup di sini saja. Jangan percaya Astronot, deh!" Ujarnya bercanda.
"Boleh
juga." Aku terelak. Tania membawa air putih hangat. Kemudian sejenak Tania
mengajakku keluar. Kami berkeliling taman sambil berbicara. Duduk di balai
dekat sebuah kolam, yang letaknya dekat sudut rumah membuat suasana menjadi
teduh.
Kami
bersila duduk bersama sambil bertatap wajah. Tania mengisah perjalanan hidupnya
di Jordania. Betapa hebat orang-orang di sana sangat menyukai sejarah dan
agama. Budaya yang kuat. Ya, pastinya mereka sangat menghargai para pendatang,
katanya.
Tania,
juga berkeluh. Betapa risihnya beradaptasi di Kota ini. Tania mulai membuka peristiwa
yang menimpanya. Beberapa pemuda ingin mengusirnya karena bercadar. Mereka
menganggap perempuan bercadar adalah garis agama berpaham sesat. Bahkan Tania
dituduh dengan fitnah memiliki ilmu hipnotis.
.