Sudah dua tahun Syakban mendekam di lapas
lantaran tersangkut kasus—yang sudah amat klise di negeri ini—narkoba. Dari
kabar yang beredar, dia dijebak oleh temannya sendiri, Bahrun. Mereka berdua
cukup terkenal di kampung kami karena jabatan yang disandangnya; Bahrun sebagai
asisten pribadi keuchik sementara
Syakban sebagai ketua pemuda. Ketika berita itu tersebar, seluruh penduduk desa
terkejut—tak percaya perangkat desa mereka terlibat dengan barang haram semacam
itu. Keduanya saling menuduh dan menyangkal, membuat keuchik kian geram. “Katakan hal yang sepatutnya ada, Gam. Jangan
dilebihkan dan jangan dikurangi.” Syakban terdiam mendengar seringai di ujung
kalimat keuchik. Bahrun angkat bicara
meskipun tiada seorang pun yang memintanya untuk kembali bersuara. “Demi Allah,
saya mendapatkan barang itu dari Syakban, Pak.”
“Diam kau! Sudah cukup bicaramu. Kau tak lebih
dari bedebah tak tahu diuntung! Aku tak peduli darimana kau dapatkan barang
itu, yang kutahu kau telah membuat tebal mukaku, Run!” Kali ini benar-benar
hening. Untuk beberapa hela napas berat yang terdengar dari keuchik sebelum ia pergi, polisi telah
memborgol tangan kedua orang tersebut. Syakban pasrah; Bahrun kalut.
***
“Kenapa tidak jelaskan saja pada mereka,
hah?” Rabiah mendesis menahan tetes air di ujung pelupuk matanya. Syakban masih
terdiam, tatapannya kosong seperti orang linglung. “Kenapa diam, Bang? Abang
memang pengedar? Bukan, kan? Kalau begitu, jelaskan pada mereka bahwa Abang
dijebak oleh bedebah itu! Jangan diam saja, memangnya Abang bisu?” tak puas
hati Rabiah melihat tak ada tanggapan dari suaminya. “Kau tahu, Dik? Jujur pun
akan kalah jika barang bukti tersangkut di badan walau tiada niatan hati untuk
membawa. Sekarang ini, dengan kertas orang bisa dipenjara; dengan kertas orang
bisa berlenggang bebas dari bui; dengan kertas semua bisa dilakukan. Dan kertas
panggilan polisi untuk Abang telah dilayangkan, maka sepatutnya Abang masuk
bui, walaupun tiada kesalahan yang cukup untuk membawa Abang kemari.” Deras
sudah air mata keluar membasahi pipi merah Rabiah.
“Shh, jangan menangis, Dik. Nanti
apa kata Dara jika melihat matamu memerah?” hati Syakban meringis, ingin
didekapnya tubuh gemetar itu namun jeruji besi menghalanginya. Ia harus tetap
tegar di tengah kegetirannya, tetapi jika harus mengingat anak perempuannya
yang masih berusia lima tahun itu batinnya mengutuk-ngutuk si pemfitnah,
Bahrun. “Sekarang pulanglah, masaklah untuk Dara makanan yang enak-enak, biar
hilang sedikit rasa susahnya karena ayahnya telah dibawa polisi.” Ada senyum
getir menggantung di ujung kalimatnya, namun Rabiah tak ingin melihatnya lebih
lama dan memutuskan untuk pulang.
Oleh sipir, Syakban diperlakukan
sewenang-wenangnya sementara untuk penghuni sel sebelah ia berbaik hati
memberikan pelayanan. Hal itu telah menjadi pengamatan Syakban di setiap pagi
hingga ke petang. Menurut hematnya, ada yang tak beres dengan si sipir; namun
ia tak ingin berburuk sangka.
Suatu hari, sang sipir menghampiri
Syakban dengan wajah yang cukup ramah. “Gam, kau tahanan yang tersangkut kasus
narkoba dengan si Bahrun itu, kan?” Syakban diam mendengar tuduhan yang sudah
biasa didengarnya. “Sudahlah, jangan mengelak lagi. Kau bisa menipu istri dan
anakmu, tapi aku tak bisa kau bohongi. Pakai ataupun tidak, tapi kau terlibat.
Bukan begitu?”
“Apa maumu, sobat?” Syakban tahu
persis ada hal yang diinginkan oleh si sipir. Senyum licik langsung menghiasi
wajah si sipir. “Kau kasihan pada anakmu, kan?” Mata Syakban langsung terbuka,
tubuhnya yang lemah kembali sigap siap untuk menerima informasi. “Malam ini kau
kuizinkan pulang menemui anak-istrimu. Tapi ada satu syarat—” si sipir melirik
kiri-kanan untuk memastikan tak ada yang mendengar. “Kau tak boleh mengatakan
pada siapapun dan kalau kau berbaik hati, tolong sampaikan paketku ini pada keuchik.” Sipir langsung memberikan
amplop cokelat kepada Syakban tanpa menunggu persetujuan darinya. Seperti
perkiraan sipir, Syakban tak harus dibujuk lebih lama untuk menyetujui
kesepakatan kecil itu. Sayang, keluguannya
untuk kesekian kali dimanfaatkan dan membawanya pada perubahan terbesar
hidupnya.
***
Selama dua tahun Syakban dipenjara
namun ia selalu dapat dispensasi untuk pulang ke rumah tiap bulannya. Awalnya
Rabiah menyambutnya dengan gembira hingga suatu hari tersiar kabar bahwa keuchik bekerja sama dengan Bahrun yang
ikut mendekam di lapas. Kabarnya, penangkapan Syakban dua tahun silam merupakan
rekayasa Bahrun untuk melindungi tuannya. Keuchik
membuat laporan palsu dan terbitlah surat panggilan polisi untuk
penangkapan Syakban. Dengan kertas orang bisa dipenjara; dengan kertas
orang bisa berlenggang bebas dari bui; dengan kertas semua bisa dilakukan.
Rabiah menceritakan kabar tersebut
kepada Syakban. “Tidak mungkin keuchik seperti
itu. Dia orang baik, karena dia Abang bisa pulang menemuimu dan Dara.” Rabiah
mengernyitkan kening mendengar jawaban suaminya yang terdengar janggal, namun
ia segera menepis pikiran itu. Tidak
mungkin Bang Syakban mau diperalat, pikirnya.
***
Tak butuh waktu lama, akhirnya kabar
yang tersiar mengenai skandal keuchik
terbukti. Statusnya sebagai keuchik
langsung dinonaktifkan setelah 24 jam penangkapan. Dua hari kemudian, menyusul
pula surat dari Syakban kepada Rabiah yang mangatakan bahwa ia tak lagi bisa
pulang menemuinya. Semua yang terjadi semakin pelik bagi Rabiah. Ia memutuskan
untuk mengunjungi Syakban pekan depan.
Hari Ahad tiba, Rabiah menumpang
becak untung mengunjungi suaminya di lapas dan menanyakan apa yang terjadi.
Pikirannya berkecamuk. Ia yakin ada yang tak beres dengan kasus ini, ia yakin
suaminya yang baik hati telah diperalat oleh keuchik untuk melindunginya dari skandal memalukan itu. Rabiah
ingin segera menyadarkan suaminya agar janga mau diperalat lagi.
Sesampainya di depan lapas, tak ada
sipir sebagaimana biasanya. Ia mengintip ke arah sel yang dihuni oleh suaminya.
Kosong. Karena penasaran, ia menelusuri jalur yang membawanya terus ke dalam
dan terdengar suara beberapa lelaki sedang tertawa, ia yakin mungkin sipir ada
di sana.
Tebakan Rabiah tak meleset. Sipir
memang ada di sana; yang mengejutkan dia berada di dalam sel bersama keuchik yang sedang memegang sebungkus
bubuk putih. Dan yang lebih mengejutkan, Syakban juga berada di sana dan
memegang bungkus yang sama.[]