Ade Pratiwi
Mahasiswi
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP),
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Dalam
kehidupan manusia, komunikasi menjadi hal yang sangat penting. Manusia berkomunikasi
menggunakan media yang digunakan komunikator untuk menyampaikan informasi. Setiap
orang membutuhkan informasi agar tidak ketinggalan berbagai informasi. Media
yang digunakan untuk berkomunikasi berbeda-beda sesuai dengan apa yang
dibutuhkan oleh individu tersebut, sebut saja untuk tuna rungu yang
berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Tuna
rungu merupakan istilah yang digunakan untuk orang yang mengalami gangguan
pendengaran, baik sebagian atau
seluruhnya. Oleh karena itu, bahasa isyarat digunakan oleh penyandang tuna rungu dalam berkomunikasi dengan tuna
rungu lainnya ataupun dengan non tuna
rungu. Inilah alasan mengapa orang non tuna
rungu juga harus mempelajari bahasa isyarat. Setidaknya ia paham sedikit
tentang bahasa isyarat agar komunikasi yang dilakukan dapat berjalan lancar dan
efektif.
Bahasa isyarat
merupakan bahasa yang digunakan oleh komunikator tanpa menggunakan suara, namun
mengandalkan pergerakan tangan, badan dan bibir serta ekspresi wajah dalam
menyampaikan pesan kepada komunikannya. Bahasa isyarat ini mempermudah orang
yang tuna rungu untuk menyampaikan dan menangkap pesan, karena simbol yang digunakan
dapat terlihat oleh mata.
Oleh
karena itu “I am Able” hadir untuk
merangkul orang-orang yang ingin mengerti bahasa isyarat dengan mengadakan
sosialisasi bahasa isyarat. Kegiatan yang dilakukan di Museum tsunami ruang meeting lantai 2
dengan mengusung tema I am Able dan
terbuka untuk siapa saja yang ingin mempelajari bahasa isyarat.
Kegiatan
ini terbentuk sebagai project social dari
Post Project Activity (PPA) alumni
program kapal pemuda ASEAN-Jepang atau The Ship for Southeast Asian Youth Program
(SSEAYP) 2016. SSEAYP sendiri merupakan program
pertukaran pemuda bertujuan mempererat hubungan persahabatan dan mutual understanding yang disponsori
oleh pemerintah Jepang. Program ini dilaksanakan di dalam sebuah kapal pesiar milik jepang, Fuji Maru.
Setiap tahunnya Post Project Activity
peserta SSEAYP mengangkat tema berbeda, pada alumni SSEAYP 2016 ini diangkatlah
tema dengan fokus pada disabilitas.
Vira Farhati
yang merupakan alumni dari kapal pemuda ASEAN-Jepang 2016 dan sekaligus Project Officer dari I am Able di Aceh. Mahasiswi Universitas
Syiah Kuala ini menjadi satu-satunya delegasi Aceh untuk SSEAYP 2016. Bersama
320 pemuda ASEAN-Jepang lainnya mengarungi lautan dan mengunjungi Negara-negara
ASEAN selama 52 hari.
“Selama
perjalanan, kita (peserta SSEAYP) merumuskan 1 project social yang akan kita aplikasikan di Indonesia kita
angkatlah tema disabilitas dan kesetaraan, kita tertarik di spesifik
sosialisasi bahasa isyarat” ungkap Vira.
Kegiatan
I am Able sendiri dilakukan selama 4
kali pertemuan, dimulai pada tanggal 1 Oktober 2017 hingga tanggal 29 Oktober
2017 di Museum tsunami Aceh dan Keude Kupi Aceh. Pelajaran bahasa isyarat yang diajarkan berupa
huruf abjad, angka, warna, we are unity
song, perkenalan dan percakapan sehari-hari dengan seorang pemateri yang mengajarkan
Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI).
Adapun
bahasa isyarat yang biasa digunakan di Indonesia ada 2 yaitu Bisindo (Bahasa
Isyarat Indonesia) dan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). Bisindo
merupakan bahasa yang diciptakan oleh kaum tuna rungu dan memiliki perbedaan di
setiap daerah layaknya bahasa daerah yang berbeda-beda, sedangkan SIBI merupakan
bahasa isyarat yang dibuat pemerintah dengan mengubah bahasa Indonesia lisan ke
bahasa isyarat yang terdapat imbuhan layaknya ejaan di bahasa Indonesia.
Dari sosialisasi
bahasa isyarat ini, Vira berharap bahwa masyarakat yang non tuna rungu juga mengetahui tentang penggunaan
bahasa isyarat, “selama ini bahasa isyarat hanya diajarkan kepada
tuli-tunarungu aja, bahasa isyarat jadinya familiar di kalangan mereka (tuna rungu)
sedangkan orang-orang tuli-tunarungu itu berinteraksi bukan cuma sesama mereka,
tetapi juga dengan orang lain yang non tuli-tunarungu”. Ucap perempuan yang
menerima penghargaan sebagai pemuda Aceh yang berprestasi 2016.
Kegiatan
I am Able sendiri mendapatkan respon
yang positif dan pemuda Aceh sangat antusias dengan kegiatan ini terlihat dari
banyaknya peserta yang mendaftar online
hingga 40-an peserta ketika Vira mempublikasikan kegiatan I am Able ini.
Perempuan
kelahiran Lhokseumawe ini mengaku mengalami sedikit kesulitan untuk memulai
kegiatan I am Able ini. Apalagi sosialisasi
disabilitas belum familiar di Aceh, sehingga Vira harus memulai pendekatan dari
nol, meminta masukan dari teman-teman disabilitas dan riset ke lembaga
penelitian yang pernah meneliti tentang disabilitas.
Vira
juga berharap kedepannya kegiatan I am
Able ini akan tetap berlanjut dan dilaksanakan dengan santai, di setiap
sesi pertemuannya bakalan ada topik yang akan dibahas dengan tetap menggunakan
pelajaran bahasa isyarat “inginnya komunitas ini terbentuk karena adanya suka
rela, komunitas yang leaderless,
untuk bersama”. Ujar perempuan yang sekarang KOAS di RS Zainal Abidin Banda Aceh.