Oleh:
Sumarsih, staf
peneliti Alwi Research and Consulting
Maraknya pelbagai informasi bohong/
palsu (hoax) di negara ini paling tidak menunjukkan tiga hal. Pertama, lemahnya pemahaman atau budaya literasi
masyarakat. Hal ini bisa ditelisik
minimal dari rendahnya minat baca masyarakat itu sendiri. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) dan The United Nation of Education Social and
Cultural (UNESCO) tahun 2012, jumlah masyarakat yang mempunyai minat baca hanya
1:1.000. Itu berarti, dari setiap 1.000 penduduk hanya ada satu orang yang
memiliki minat baca. Secara lebih luas, data tersebut juga dapat dipahami dari
total jumlah penduduk di tahun yang sama sebanyak 255 juta jiwa, hanya terdapat
255 ribu jiwa yang mempunyai minat baca. Sisanya, sebanyak 252, 45 juta jiwa
tidak mempunyai minat untuk membaca. Dampaknya, informasi apa pun yang beredar
akan ditelan mentah-mentah.
Kedua,
konten hoax menjadi lahan (komoditas) yang menjanjikan. Merujuk Septiaji Eko Nugroho
dari Masyarakat Anti Hoax, menyebutkan bahwa pendapatan dari situs hoax rata-rata
bisa mencapai Rp 600 juta hingga Rp 700 juta dalam setahunnya. Itu pun tidak
memerlukan modal dan biaya operasional yang besar. Maka, wajar bila banyak
orang yang kemudian tertarik menjadi pembuat sekaligus penyebar konten hoax. Di
sisi lain, hal demikian secara tidak langsung juga menunjukkan ketidakmampuan
pemerintah untuk menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal
ini diperparah dengan janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk
membuka 10 juta lapangan pekerjaan yang tak kunjung terealisasi. Buktinya,
angka pengangguran ketika masa pemilu presiden (Pilpres) tahun 2014 hingga saat
ini belum beranjak signifikan. BPS mencatat jumlah pengangguran per Agustus
2014 mencapai 7,24 juta penduduk, sementara data termutahir mencatat tingkat
pengangguran mencapai 7,02 juta penduduk.
Penegakan Hukum
Ketiga,
lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku maupun platform (media) yang digunakan dalam menyebarkan konten hoax. Semisal,
penyebaran konten hoax terkait serbuan 10 juta tenaga kerja asal Tiongkok ke
Indonesia. Meskipun dampak dari penyebaran konten hoax tersebut luar biasa
besar, bahkan dapat mengikis kepercayaan publik pada pemerintahan Presiden
Jokowi, tetapi tidak dilakukan upaya hukum yang sepadan sehingga dapat
menjerakan pelaku maupun platform penyebar
konten hoax tersebut. Pada titik ini, pandangan pemerintah yang cukup hanya
meluruskan konten hoax tersebut tentu tidak tepat. Sebab, ketiadaan efek jera
akan membuat pelaku lebih leluasa lagi dalam membuat dan menyebarkan
konten-konten hoak lainnya. Singkat kata, lembeknya pemerintah dalam menyikapi
konten-konten hoax yang mengarah pada kinerja pemerintahan sesungguhnya juga
mempunyai andil dalam “merawat” tetap mewabahnya konten hoax di negara ini.
Demikian pula bila dilakukan upaya
hukum, biasanya tidak dilakukan secara komprehensif karena hanya pelakunya saja
yang disasar. Semisal, sebuah akun media sosial di Facebook yang membuat dan sekaligus menyebarkan konten hoax.
Biasanya, upaya hukum hanya diarahkan kepada pelaku yang mempunyai akun Facebook tersebut. Sementara platform-nya, dalam hal ini Facebook tidak sama sekali dikenai
tindakan hukum. Sekali pun, jika tidak ada Facebook
maka konten hoax yang ingin disebarkan oleh pelaku tersebut sesungguhnya tidak
akan tersebar. Hal yang sama nampak pada kasus penyebaran konten hoax melalui
buku “Jokowi Undercover: Melacak Jejak
Sang Pemalsu Jatidiri”. Upaya hukum secara nyata hanya diarahkan kepada
Bambang Tri Mulyono selaku penulis buku tersebut. Sementara, perusahaan penerbit
bukunya yang jelas juga mempunyai andil dalam penyebaran konten hoax tersebut justru
luput dari upaya hukum.
Mengikis Akar Persoalan
Mengacu pada ketiga hal di atas, mengikis
penyebaran konten hoax jelas tidak dapat dilakukan tanpa mekanisme yang
terstruktur. Sebab, akar persoalan langgengnya konten hoax di negara ini pada
dasarnya terakumulasi dari tiga hal tersebut, mulai dari lemahnya minat baca,
motif ekonomi, hingga lemahnya penegakan hukum. Maka, ketiga persoalan tersebut
harus diperbaiki secara serius oleh pemerintah. Pertama, pembenahan minat baca penduduk dapat dilakukan dengan
menghidupkan kembali peran perpustakaan, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan
daerah. Terkait hal ini, bisa disertakan dalam kurikulum tentang perlunya siswa
untuk membaca satu buku setiap bulannya sebagai sebuah kewajiban.
Kedua,
harus diakui terkait konten hoax menjadi komoditas yang menguntungkan dari sisi
ekonomi sangat sulit dicarikan jalan keluarnya. Namun demikian, langkah membuka
lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya masih tetap penting untuk diwujudkan.
Sebab, bukan tidak mungkin adanya lapangan pekerjaan baru akan membuat pelaku
penyebar konten hoax beralih profesi sekali pun penghasilan sebagai pelaku penyebar
konten hoax jauh lebih besar. Ini bisa dipahami, sebab profesi sebagai penyebar
konten hoax dapat dikatakan melawan hukum dan bisa dipenjara.
Ketiga,
mewujudkan penegakan hukum yang komprehensif terkait penyebaran konten hoax.
Artinya tidak saja pelaku penyebar yang perlu diberikan sanksi hukum, tetapi
juga platform yang digunakan sebagai
sarana penyebar hoax juga harus diberikan sanksi serupa. Mengakhiri uraian ini,
masifnya penyebaran konten hoax mutlak perlu disikapi secara serius oleh
pemerintah. Terlebih jika dicermati, masifnya penyebaran konten hoax ialah
dampak dari kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat,
utamanya dari perspektif pendidikan, ekonomi dan hukum. Dengan demikian, mengikis
persoalan hoax secara tidak langsung juga dapat dikatakan sebagai upaya
pemerintah untuk betul-betul mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.