Oleh : Darisman Solin
Fakultas Usuluddin dan Filsafat Jurusan
Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri
Kita tidak mengetahui bahwa kehidupan itu
seperti apa. Yang jelas bahwa kehidupan itu bagaikan roda yang sedang berputar.
Kadang di bawah, kadang di atas. Bagaimana yang dimaksud dengan kehidupan yang
di atas dan kehidupan yang di bawah?. Kehidupan yang di atas dapat disimpulkan sebagai
kehidupan mewah, enak, senang, bahagia dan sebagainya. Sedangkan yang maksud
dengan kehidupan yang di bawah dapat disimpulkan kehidupan yang masih belum
beruntung, masih susah dan tidak berkecukupan serba kekurangan. Walaupun
manusia tidak ada puasnya terhadap apa yang ia miliki. Konsep kehidupan yang di
bawah di sini, berbeda dengan ketidakpuasan akan apa yang ia miliki, tetapi mereka sama
sekali tidak mempunyai apa-apa, hanya sekedar makan minum saja susah untuk
mendapatkannya. Bagaimana dengan kehidupan selanjutnya, kita tidak pernah tahu bagaimana
ujung kehidupan, apakah kita selamanya hidup bahagia dan berkecukupan atau sebaliknya hidup dengan serba kekurangan?
Jadi
sebelum kita bertindak, marilah berpikir sejenak bahwa kehidupan itu tidak
tetap. Bisalah sekarang merasa senang, bahagia dan lain-lainnya. Namun, apakah
selamanya? Untuk itu, kita sebagai makhluk sosial harus melihat ke bawah bahwa
di sekeliling kita masih banyak yang belum
beruntung, seperti kita saat ini yang sudah merasa senangnya hidup di dunia
dibandingkan orang lain, seperti pengemis yang begitu sulit untuk mencari
nafkah. Jangankan makan, tidur enak, tempat teduh saja tidak punya.
Bagaimana dengan orang-orang yang masih belum
beruntung, apakah mereka berputus asa dan tidak mau untuk berusaha untuk mengubah
nasibnya dan berpikir bahwa mereka hanya cukup dengan keadaan yang dialaminya?
Apakah mereka pernah berpikir mereka sedang menghadapi cobaan dari Tuhan yang
harus mereka jalani?, Bahkan mereka berpikir terhadap Tuhannya yang tidak adil,
mengapa orang itu berbeda dengan dirinya?. Itu sangat salah bahwa orang perspektif
seperti itu, orang yang diberi ujian berkali-kali bahwa Tuhannya telah menguji
kesabaran dan ketabahan yang ia miliki. Sebaliknya Tuhan menguji umatnya dengan
berbagai cara. Tidak hanya dengan kesusahan, tetapi juga dengan kesenangan yang
dirasakan oleh setiap umatnya.
Bukan berarti yang merasa hidup senang menganggap
bahwa Tuhan berpihak kepadanya, dan sebaliknya yang susah berpikir bahwa Tuhan
telah mengucilkan atau mengabaikan keberadaannya di muka bumi ini. Apakah hidup
senang dapat dijanjikan bahwa Tuhannya telah bangga terhadapnya? Itu sangat salah seperti kata di atas Tuhannya
menguji umatnya dengan berbagai cara, apa dengan kekayaan atau dengan
kemiskinan. Masih banyak lagi cara Tuhan memberi ujian terhadap umatnya.
Jadi kita yang merasa sudah berkecukupan di
atas muka bumi ini, jangan lah berbangga dan menyombongkan diri dulu. Mungkin
dengan itu Tuhan telah menguji kita dengan kekayaan yang mungkin kita lupa
dengan segalanya. Sebaliknya jangan berputus asa wahai yang kekurangan Tuhanmu
tidak mengujimu di luar batas kemampuan umatnya. Sering kita lihat di kehidupan
kita sehari-hari banyak ketika berjalan naik sepeda motor, ada juga yang naik
mobil bahkan ada juga yang naik mobil mewah, itu semua ujian masing-masing diberi
Tuhannya kepada umatnya, bahkan sering
kita jumpai di setiap lampu merah ada juga orang yang tidak mempunyai apa-apa
seperti apa yang kita punya. Jangankan membeli sepeda motor, mobil, apalagi
mobil mewah sekedar makan saja mereka harus meminta, karena keterbatasan skill. Mereka itu juga sebagai ujian untuk mereka
dan jangan sampai kita berputus asa dengan ujian yang diberikan Tuhan kepada
kita. Apa yang kita kerjakan di muka bumi ini akan mendapat balasannya dan semua
ada hikmahnya Allah telah menjanjikan itu.
Kalau kita telaah lebih dalam lagi mengapa
perbedaan itu harus ada, mengapa kesetaraan itu tidak disamakan saja? Bukankah
dengan perbedaan itu banyak kejadian-kejadian senonoh yang tidak mampu kita
pikirkan. Mengapa hal itu bisa terjadi seperti kriminalitas? Kita tahu bahwa kriminalitas adalah suatu perilaku
yang menyimpang dan bertentangan dengan norma-norma hukum pidana. Tindakan
kriminalitas sangat beragam bentuknya,
seperti pencurian, perampokan, pembunuhan dan lain sebagainya. Bukan kata lain karena
adanya perbedaan dan kekurangan yang menyebabkan itu semua, sehingga kita
merasa cemburu atas ketidakmampuan, sehingga kita mampu berbuat apa saja demi
mencapai tujuan itu dengan hidup serba berkecukupan. Jadi mengapa Tuhan
menciptakan perbedaan mengapa tidak sama?
Bukankah dengan kesamaan tanpa perbedaan kesetaraan
akan berdampak positif dalam kehidupan
kita sehari-hari dan merasa cukup segala yang sudah ada tetapi mengapa
perbedaan itu masih ada.
Pertanyaan di atas semua kuasa Tuhan. Kita
tidak tahu apa maksud itu semua. Kita hanya sebagai makhluk ciptaan yang penuh
dengan kekurangan, tidak akan mampu menjawab semua pertanyaan menyangkut
rahasia Tuhan. Oleh karena kita sebagai makhluk ciptaan, jangan menyombongkan
diri dengan kekayaan, kekuasaan kita, telah lupa pada yang di bawah bahkan kita
telah menyia-nyiakan jalan untuk menuju pintu surga. Bukankah itu adalah konsep
penciptaan yang berbeda, sehingga kita saling kasih mengasihi antara satu
dengan lainnya?. Tetapi konsep ini telah jauh melenceng tidak sesuai dengan
penciptaan yang diinginkan. Dalam sebuah hadist,
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata:
“Rasulullah SAW bersabda: seorang muslim itu adalah saudara muslim lain. Oleh
sebab itu, jangan menzalimi dan meremehkannya dan jangan pula menyakitinya.”
(HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim).
Bukankah Hadist tersebut sudah sangat jelas,
bahwa kita sebagai umat muslim harus saling menyayangi, kasih mengasihi dan jangan
saling menyakiti dan menzalimi sesama muslim. Fakta yang terlihat pada saat ini
banyak yang mengabaikan Hadist tersebut. Kalau kita lihat di sekeliling, kita
banyak yang membutuhkan bantuan, tetapi kita mengabaikannya. Terlebih lagi yang
hidup miskin banyak sebagai mengambing hitamkan dari kesalahan dari penguasa.
Mereka dilema tak berdaya, mereka hanya mampu menerima, walaupun hati mereka
menjerit dalam tidak-salahan mereka.