Oleh
Hendra Gunawan, MA
Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan, Sumatera Utara
Pahala adalah tabungan di akhirat dan
merupakan tanda kemuliaan, maka
buat orang-orang yang pahalanya lebih dominan daripada dosanya akan dimuliakan
dengan penyerahan buku catatan amalnya ke tangan kanannya. Sebaliknya, orang-orang
yang kwantitas dosanya lebih dominan daripada pahalanya akan dihinakan dengan
pemberian catatan amalnya ke tangan kirinya.
Dunia adalah tempat memaksimalkan
tabungan pahala, lewat ibadah dan berbuat kebaikan yang kemudian mengahsilkan
pahala. Layaknya, tabungan maka terkadang bisa bertambah dan sebaliknya bisa
berkurang, tidak selamanya awet dan berkembang. Sebab, betapa banyak saldo yang
tersimpan, namun bisa menjadi nihil seketika. Mengenai pentingnya pahala, dalam sejarah disebutkan bahwa para sahabat sangat takut
amalan mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Mereka juga mengkhawatirkan gugur
pahala amal mereka. Berbeda dengan umat zaman now, baru bersedekah 1.000,- rupiah,
itupun dikarenakan terpaksa sudah merasa calon penghuni surga.
Karena memang, terkadang tanpa disadari amalan-amalan yang
sudah kita kerjakan tidak mendapatkan balasan pahala apapun dan malah justru
mendapatkan keburukan di sisi Allah SWT, karena melakukan maksiat yang dapat mengurangi
bahkan menghapus pahala dari amal ibadah seseorang seperti :
1.
Syirik
Syirik
atau menyekutukan Allah SWT, merupakan kezaliman besar dan penghinaan terhadap
Allah SWT, sehingga dianggap sebagai suatu kezaliman yang besar dan perbuatan
tersebut merupakan penghinaan terhadap Allah SWT. Karena telah menyamakan Allah
SWT dengan makhluk ciptaan-Nya, Maka amal mereka tidak akan diterima sebagaimana
ditegaskan Allah SWT dalam al-Qur’an surah al-An’am ayat 88 sebagai berikut :
وَلَوْ
أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya:
“Seandainya
mereka menyekutukan Allah SWT,
niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.”
{Qs. Al-An’am/6:88}.
Termasuk
juga, riya’ yaitu seseorang yang beribadah atau beramal bukan karena
mengharap ridha Allah SWT melainkan hanya karena ingin mendapatkan kenikmatan
duniawi semata, seperti bersedekah, shalat, puasa, naik haji dan sebagainya agar
dipilih atau dipuji orang lain alias pamer. Bahkan sebagian ulama,
mengategorikan beramal dengan riya’ merupakan syirik kecil, sehingga amalan
semacam ini semua akan sia-sia sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam surah Huud
ayat 15 dan 16 sebagai berikut :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا
وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15)أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي
الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
Artinya:
“Barang
siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” {Qs.
Huud/11: 15-16}
Menurut
para mufassir, ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang suka berbuat riya’ (pamer)
akan didatangkan kepada mereka kebaikan di dunia, bahkan mereka tidak didhalimi
sedikit pun. Mau dipuji ia akan dipuji atau mau dipilih ia akan dipilih. Namun
di akhirat mereka akan merugi karena tidak mendapat pahala sedikit pun dari
ibadah riya’ mereka tersebut. Untuk itu, buat umat Islam biarlah ibadah
sedikit asalkan ikhlas mengharap ridha Allah SWT dari pada banyak tapi karena
riya’ (pamer). Maka seyogianya, lebih baik bersedekah banyak karena mengharap
ridha Allah SWT daripada sudah sedikit ,itupun gak ikhlas. Yang paling
bahayanya lagi seorang menyumbang miliyaran rupiah untuk membangun masjid
biasa-biasa saja, tiba-tiba seseorang yang menyumbangkan satu jutaan tiba-tiba
merasa pemilik masjid tersebut.
Qatadah
mengemukakan: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan, niat dan
kejarannya, maka Allah akan memberi balasan dunia atas kebaikannya yang telah
ia lakukan. Sehingga ketika menuju alam akhirat kelak, tidak ada lagi kebaikan
baginya yang dapat diberikan sebagai balasan. Seperti orang yang berhaji, hanya
untuk dipanggil Pak haji, maka begitu pulang akan dipanggil orang Pak haji.
Namun ia termasuk orang yang merugi, sebab sudah menghabiskan uang puluhan juta
dan menghabiskan waktu penantian yang begitu panjang untuk bisa berangkat haji.
Lantas hanya ingin dikatakan pak haji supaya dihormati masyarakat.
2.
Durhaka kepada orang tua
Durhaka
kepada orang tua, juga merupakan sebuah kemaksiatan yang dapat menggugurkan
amal ibadah seseorang, sebagaimana dituliskan dalam kitab shahih al-jami`
ash-shaghir meskipun status hadisnya hasan, namun patut menjadi
pertimbangan kaum muslimin sebagai berikutr :
ثَلَاثَةٌ لَايَقْبَلُ اللهُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَاعَدْلًا:
عَاقٌّ،وَمَنَّانٌ،...
Artinya:
“Ada tiga golongan manusia yang Allah
SWT tidak akan menerima dari mereka amalan wajib, dan tidak pula amalan sunnat mereka pada hari
kiamat kelak; seorang yang durhaka kepada orang tuanya, seorang yang menyebut-nyebut
sedekah pemberiannya,...”.
Karena
memang, jasa kedua orang tua terhadap anaknya sangat besar, mulai ibu yang mengandung
dan melahirkannya dengan mempertaruhkan hidup dan mati sampai kepada ayah yang menantang
panas dan hujan guna mencukupi kebutuhan keluarganya. Maka tidak heran keduanya
memiliki hak yang harus dipenuhi oleh sang anak, ssebagaimana firman Allah SWT
dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 36 “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu bapak”.
Dalam
ayat ini, memang posisi berbakti kepada orang tua mendapat posisi yang penting
setelah perintah jangan syirik, maka sebagian ulama mengkategorikan perbuatan
durhaka kepada orang tua merupakan dosa besar. Namun, meskipun demikian masih
banyak orang yang melupakan tuntunan agama yang suci ini, bahkan sanggup memutuskan
hubungan dengan keduanya. Padahal mengatakan ah atau semacamnya dilarang,
apalagi memutuskan hubungan dengan ayah dan ibu terkadang karena isteri dan
dikarenakan yang lainnya.
3.
Dengki
Dengki
dalam bahasa Arab, disebut hasad (iri) yaitu perasaan tidak suka akan
suatu nikmat yang dianugrakan Allah SWT kepada orang lain, baik itu
tetangganya, temannya, dan bahkan kepada saudaranya sendiri. Namun sebaliknya,
merasa senang melihat orang lain susah, yang sering disebut orang zaman now ini
SMS (Susah Melihat orang Senang atau Senang Meliahat orang Susah). Perasaan
seperti ini, sangat dilarang Allah SWT dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 32 “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagianmu lebih banyak dari sebahagian yang
lain...”. Untuk itu, dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW
memperingatkan kepada umat Islam sebagai berikut :
اِياَّكُم وَالحَسَدَ فَاِنَّ الْحَسَدَ يَاْكُلُ
الْحَسَنَاتِ كَمَا تَاْكُلُ النَّارُ الحَطَبَ (رواة ابوداود)
Artinya:
”Jauhilah darimu sifat hasad karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu-bakar.” {HR. Abu Dawud}.
”Jauhilah darimu sifat hasad karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu-bakar.” {HR. Abu Dawud}.
Apalagi,
rasa dengki itu menyerembet kepada ghibah (menggunjing atau gosip)
dengan menaburkan cerita gosip agar tetangga, sahabat, ataupun saudara yang
mendapat nikmat tersebut terhina dan dikucilkan. Nah apabila sudah sampai ke
sini, maka bukan pahala ibadah saja yang terkikis tapi dosa pun akan semakin
bertambah sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat ayat 12 “Hai
orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), sebab
sebagian prasangka adalah dosa; janganlah (kalian) mencari-cari keburukan
orang, dan jangan (kalian) menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara engkau suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?...”.
4.
Mengungkit-ungkit amal ibadah
Termasuk
mengungkit pemberian sedekah sehingga menyakiti perasaan si penerima, baik di belakangnya
apalagi di depannya. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam al-Qur’an surah
al-Baqarah ayat 264 sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ
النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ
صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا
يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ
الْكَافِرِينَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Maka perumpamaan orang seperti itu bagaikan batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan;
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” {Qs.
Al-Baqarah/2:264)
Misalnya,
dengan mengatakan bukankah saya pernah membantu mu! atau aku
telah memberimu sedekah maka berbuat baiklah padaku, apalagi dengan cara yang
membuat si penerima tersakiti dan terhina, seperti bersedekah sambil mengejek
ataupun menceritakan sedekah tersebut kepada orang lain yang membuat si
penerima menjadi malu. Terlebih bersedekah dengan sombong, termasuk ucapan
kalau bukan karna sedekah yang saya berikan kamu tidak akan bisa hidup!. Ingat
kesombongan atau merasa dirinya paling baik ini merupakan sifat iblis.
sebagaimana iblis yang amal ibadahnya sangatlah luar biasa kepada Allah SWT.
Namun karena kesombongannya dilaknat oleh Allah SWT sehingga seluruh amal
ibadah iblis yang sangat luar biasa tersebut terhapus oleh sifat kesombongannya
tersebut dan dijuluki gelar penghuni neraka jahannam. Naudzubillah…!
5.
Suka mengklaim
Mengkalaim
atau berucap atas nama Allah SWT, bahwa seseorang tidak akan diampuni dosanya,
apalagi sampai menyebabkan orang lain berputus asa dari rahmat Allah SWT
sehingga membuatnya tenggelam dalam kemaksiatan. Seakan-akan dia menjadi
penyebab menutup pintu kebaikan dan membuka pintu keburukan. Ingatlah bahwa ampunan
Allah SWT adalah merupakan hal yang ghaib, tidak seorang pun yang dapat mengetahuinya.
Perbuatan semacam ini sangat dibenci Allah SWT, sehingga dapat menggurkan
pahala amal ibadah pelakunya sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
مَنْ ذَاالَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَاأَغْفِرَ
لِفُلَانٍ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ
Artinya:
“Siapakah yang bersumpah atas
nama-Ku, bahwa Aku tidak akan mengampuni si fulan, sesungguhnya Aku telah
mengampuni si fulan, dan Aku menggugurkan amalmu”. {HR. Muslim}
Sekalipun,
secara lahir seseorang banyak terlihat melakukan dosa dan maksiat, namun
seseorang tidak dibolehkan mengklaim bahwa ia tidak akan diampuni Allah SWT,
apalagi sampai bersumpah bahwa Allah SWT tidak akan mengampuninya. Sebab
ampunan Allah SWT adalah otoritas Allah SWT, bisa jadi di suatu saat dia
bertaubat sehingga Allah SWT mengampuninya.
Penutup
Setiap
Muslim, berharap agar seluruh amalannya diterima oleh Allah SWT, namun
sesungguhnya limpahan pahala hanya akan didapatkan orang-orang yang beramal
dengan ikhlas dan berharap keridhoan Allah SWT, banyak amal ibadah insan
manusia yang tidak dihitung sebagai ketaatan termasuk ibadah yang hanya sekedar
rutinitas (kebiasaan) atau mencari pujian semata.
Maka
dalam beramal ibadah, jangan hanya mementingkan kuantitas (banyaknya) amal ibadah
yang dilaksanakan. Tetapi juga menjaga amal ibadah agar tidak rusak dan tidak
gugur dari hal-hal yang dapat merusak pahala amal ibadah yang telah kita
laksanakan. Termasuk riya’, seperti suka memposting atau menunjukkan
amalan ibadahnya, saat naik haji, saat
baca al-Qur’an berfoto, dan saat berdoapun difoto lalu dipajangkan di media
sosial. Syukur alhamdulillah, apabila niatnya untuk memotivasi orang lain
supaya rajin beribadah namun sebagai menusia biasa dikhawatirkan niatnya berubah
menjadi memamerkan ibadah.