( Lelucon Para Penerka Mimpi Kini )
Oleh : Syuhada Maufid
Bukhari
Mahasiswa Jurusan
Perbankan Syariah, FEBI, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Berkoar-koar adalah cara mutakhir
dalam mengais rezeki,tak terkecuali oleh penerka mimpi di negeri ini. Berbagai
cara dilakukan dalam menunjukan aksi, mulai debat di televisi bahkan bakar
spanduk di sana-sani. Tujuannya hanya satu, yaitu perbaikan negeri. Saat diwawancara
oleh salah satu tim wartawan televisi, mereka ditanyai tentang perihal aksi. Para
pengkritik beralasan hanya untuk dan atas nama rakyat yang tersebar di seantero
negeri.
Melihat aksi pengkritik memang selalu menyentuh hati, apalagi memperjuangkan
aspirasi kaum marginal daerah kampung priayi. Koar sana dan sini sudah barang
tentu aksi jitu dalam memperjuangkan aspirasi. Apalagi di depan penguasa
negeri. Tokoh sekaliber Wiji Thukul Wikana seorang aktivis kontra Orde baru
dalam sebuah syairnya “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik
dilarang tanpa alasan, dituduh subversif
dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata :LAWAN !.” Sepenggal
bait puisi Wiji Thukul Wikana tadi memang menjadi penyemangat para pengkritik
dalam menunjukkan aksi, tetapi itu semua
sudah lain ditafsiri.
Para pengkritik yang dulu malang
melintang di seantero negeri, namanya harum di kalangan masyarakat pribumi
karena cemerlang dalam menyuarakan aspirasi kepada penguasa negeri, tetapi kini
hampir pengkritik tadi hanyalah penjilat dalam meyuarakan aksi yang kini banyak
dipelihara oleh rezim-rezim yang mereka demo waktu itu. Melihat aksi mereka
tentunya sakit hati ini, apalagi mereka semua yang dulu heroik dalam
menyuarakan aspirasi, tetapi kini duduk manis di kalangan keluarga korupsi.
Dunia politik dunia penuh intrik,
tak terkecuali para pengkritik. Di sisi lain, mereka membawa angin segar bagi pribumi
di negeri ini dalam mengkritik rezim diktator dan arogan. Di sisi lainnya
mereka semua tergiur dengan tawaran atau jabatan yang tentunya mudah didapat
oleh pengkritik kelas kakap, ketika mereka duduk di parlemen. Bahkan di istana
negeri, semua bungkam bahkan semut dan nyamuk yang dekat dengannya pun
seolah-olah tak mendengar suara lantangnya.
Sebenarnya apa yang mereka lakukan telah
terbukti secara empiris dalam kalkulus, pengkritik memiliki peluang sebesar 67%.
Jadi politisi. Akhirnya mereka memperbesar populasi sampelnya, sehingga penerka
menyatakan menyuarakan kepentingan rakyat terhadap 10.000 jiwa penduduk negeri
di semenanjung nusantara ini.
Di setiap kampus, penerka mesti menciptakan resolusi aksi.
Kalau misalkannya, kata TENGGIL itu punya muka, maka inilah mukanya.
Pertama, penerka penipu. Kedua, :suka
hoax dan yang ketiga, sok jantang, sok asyik, sok dekat, sok jelas dan sok
humanis serta sok penting.
Kita bahkan sering mendengar dan
bahkan menyanyikan lirik lagu, para penerka (feat. Iwan False yang liriknya
seperti berikut ini, “ berbicara soal
kehidupan tentang manusia, dengarlah bahwa para penerka saling menerka. Perhatikan
keributan pada sesama. Semua saling mencela, saling mencerca, menghitam hati
penuh kebencian bersahut-sahutan menebar kedengkian di kehidupan, mereka
berseru menusuk jiwamu, dengan cerita dengan berita. Penerka banyak bicara tak guna atau berguna merusak pikiran
kita, prasangka berbusa-busa, penerka dimana-mana bagai monster meraja lela, pencela
para pencela sungguh busuklah hatinya”.
Syair “Ini zamannya tikus mengaku macan, kalaupun
macan, tapi macan peliharaan. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. pendengki
bengong diterkam rindu.”
Bait
syair ini menunjukkan sikap yang pasti dalam melawan para penerka politik
peliharaan. Kendatipun kekuasaan kelak mereka dapati dari apa yang dicita-citakan
dalam membangun negeri. Tentunya harus sepadan dengan apa-apa yang dulu mereka
suarakan dalam memperbaiki sistem birokrasi nusantara ini. Kalaupun mereka itu
cuma peliharaan politik elit saja, niscaya apa yang mereka kampanyekan dulu, apa
yang mereka katakan dulu dalam orasinya, hanyalah semu belaka. Bahkan orasi itu
akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Azzawajalla.
Bila
kita melihat praktik ini dalam dunia pendidikan, pendidikan merupakan perbuatan
antara peserta didik dengan pendidik. Tujuannya, pendidik dengan sengaja dan
penuh tanggung jawab memberikan pengaruh positif yang kontradiktif kepada peserta didik, baik melalui bimbingan,
pengajaran, baik dalam latihan dalam mengembangkan ide-ide positif dalam
membangun bangsa dan negara.
Dialog antara penerka dan tokoh
kebangsaan itu sangat perlu dalam retorika ranah demokrasi bangsa kita. Dari
kebutuhan dialog seperti inilah, lalu dirasakan siapa yang sebenarnya yang
mencari kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, setelah perang mulut kedua
tokoh bangsa dengan para penerka, dengan itu masyarakat dapat menilai apa
sebenarnya yang dicari dan apa kepentingan dari para penerka tenggil itu.
Dalam konsep kebhinnekaan, persatuan
nasional tentunya manusia itu harus memiliki sifat “KHUSNUZAN’’ dalam bersosial,
karena itu perbuatan yang sangat dianjurkan dalam beragama. Ajaran husnuzan ini
senantiasa ditanamkan kepada setiap warga Republik Indonesia, supaya kita berpikir
dan bertindak positif dalam melakukan segala sesuatu kepada siapa saja, serta
pengetahuan mereka terhadap isu-isu yang marak beredar bahkan viral di seantero
negeri ini. Dengan demikian, masyarakat baik buruknya dari asumsi para penerka
tenggil itu.
Sikap husnuzan ini bila diterapkan pada diri
pribadi seseorang tentunya dapat mengantarkan kepada siapa saja menuju sifat
kebaikan dan juga dapat melepaskan sifat buruk sangka terhadap saudara seiman, sebangsa
dan setanah air. Jika seseorang masih diselimuti sifat suudzan ( buruk sangka), maka dia tidak akan
menerima hakikat kebenaran iman dan ilmu. Apabila seseorang telah mengusir
serta membersihkan dari sifat-sifat buruk sangka yang bertentangan dengan
kehambaan itu, maka pasti ia sanggup menyambut tuntunan Tuhan, baik dalam Alquran, alhadist serta juga
kebenaran dari saudaranya. Dengan demikian, dia telah menerima kebenaran dan
tentunya mendekat kepada sang Maha Esa.
Wujud dari penerimaan iman dan kebenaran
itu, inilah sifat UBUDIYYAH (kehambaan),
yaitu taat dan patuh terhadap perintah dan larangan Tuhan yang Maha Esa. Mengerjakan
dan meninggalkan larangan tanpa membantah dan merasa keberatan. Ajaran itu
dapat ditemukan dalam kitab AL-HIKAM pada hikmah yang ke-42,yaitu :
“ Keluarlah dari sifat-sifat
kemanusiaanmu ( yakni yang jelek dan rendah ), ialah sifat yang menghalangi sifat
yang menyalahi kehambaanmu, supaya mudah bagimu untuk menyambut panggilan Allah
dan mendekat kepada-Nya serta menerima kebenaran.”
Sifat suudzan ini yang merupakan
pangkal dari menuruti hawa nafsu. Dapat berbuat hasud, iri hati, dengki, sombong,
mengadu domba, merampok uang rakyat, gila pangkat dan jabatan, sangat cinta
dunia, rakus dan tamak. Untuk menghilangkan dan membersihkan semua itu, maka dengan
cara mendekat kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan kitab Al-hikam pada
hikmah ke-43, yang berbunyi : “Pokok dari semua maksiat itu ialah di awali oleh
hawa nafsu dan kelalaian syahwat itu,karena ingin memuaskan nafsu bathin baik
itu nafsu duniawi maupun nafsu di selangkangan.sedangkan pokok dari ketaatan,kesadaran
dan kesopanan aklhak budi,karena adanya pengekangan ( penahanan ) terhadap hawa
nafsu”.
Dengan demikian sifat khusnudzann
merupakan aktualisasi diri dalam
menerima kebenaran-kebenaran yang pasti. Dalam pandangan Abraham Maslow, pelopor
psikologi humanistis, orang yang telah mencapai aktualisasi diri tidak lagi
membedakan secara dikotomis antara baik dan buruk. Karena mereka menjalankan
pekerjaan dan tugasnya penuh dengan kesenangan,kebahagiaan,dan tanpa
pamrih.mereka secara sadar dan konsisten memilih nilai-nilai luhur,dan dengan
mudah mereka melakukannya.dikotomi baik buruk hanyalah berlaku pada mereka yang
tidak konsisten dengan dirinya sendiri (Goble,1993:53).
Semua manusia tentunya memiliki
keinginan dan dorongan-dorongan untuk cepat terwujud apa yang diingka, tetapi
bila keinginan orang sudah yakin hanya Allah lah yang mampu mengabulkannya yang
mengusai. INNALAHHA ‘ALA KULLISYAI’IN
QADIIR (sesungguhnya ALLAH lah yang mengusai segala kejadian ), tidak akan
terjadi segala sesuatu ILLA BI’IDZINILLAH. Inilah sebetulnya yang merasakan
orang nikmat yang luar biasa ketika hatinya sudah meyakini setiap kebenaran dan
kejadian itu hanya terjadi dengan izin Allah Swt.
Dalam ranah politik praktis hal ini
jauh sekali dengan prinsip-prisip ajaran Agamis yang seolah-olah kekuasaan
tertinggi itu hanyalah milik segelintir elite saja, dengan menyewa penerka
bermuka dua. Lalu berbicara hak-hak rakyat Indonesia, seolah-olah mereka
jawaranya dengan bayaran tinggi dari penyewanya. Lalu menebar kedengkian
terhadap sesama, bahkan mereka menebar berita palsu (HOAX) terhadap sesama.
Pertanyaannya dimana letak kehambaan mereka terhadap sang pencipta.
Penulis teringat sebuah wejangan atau
semacam petuah dalam retorika politik, yaitu, ’’tidak ada lawan abadi dan juga
tidak juga ada kawan abadi. Yang ada hanya lah kepentingan.’’
Harus
dipahami bahwa kebenaran yang hakiki tidak akan lenyap dengan sejuta kebohongan
semu, walaupun penerka berbicara berbusa-busa
tentang nasib bangsa dengan menyuarakan hoaks semata, demi kepentingan golongan
dan nafsu politik tengil di seantero negeri. Maka itu, hanyalah khayalan
tingkat tinggi para durjana dalam realita cerita fiktif belaka dengan sutradara
para koruptor penguasa yang berlindung di balik partai dan pengusaha dengan
menyewa anjing yang suka beretorika dalam ranah khayalan belaka. Niscaya semua
itu akan hilang oleh kebenaran yang sesungguhnya.
Bila penerka dapat menguasai media,
niscaya kehancuran negeri di depan mata. Tak sanggup walau seribu jawara
menangkis hoax mereka, dikarenakan masyarakat sudah banyak tertelan asumsi
penerka durjana, walaupun demikian pengkritik yang jujur dan jantan dalam
menyuarakan sikap dan nilai pancasila yang bersatu di bawah merah putih, cinta
negara, maka kita mampu melawan mereka.
Pengkritik mampu diharapkan tanggung
jawab atas apa yang disuarakan di media dan jalan raya tentu demi kemajuan
bangsa dalam persaudaraan bhinneka tunggal ika. Suara yang jujur dan pasti
dalam meyuarakan kepentingan bangsa dan rakyat nusantara kepada mereka yang
duduk manja di singgasana. Dengan harapan, kritikan itu mampu setidaknya
membuat satu nilai positif dalam beretorika, bukan khayalan fikfiif dan semu
belaka setelah itu rakyat jadi sengsara.
Pengkritik jangan anti dikritik dan
jangan mau dijadikan hewan peliharaan elite durjana yang itu, akan menyalahi
aturan engkau sebagai hamba, apakah engkau tidak takut Neraka atau engkau tidak
mau dikenang oleh rakyat indonesia atau engkau cukup dengan bayaran seonggok
berlian, tahta atau wanita. Ketahuilah syahadatmu di pertaruhkan demi tahta dan
kuasa. Tidak engkau kasihan berapa banyak rakyat yang kau bawa-bawa nama mereka
bahkan dikau surakan atas nama dan bangsa kita tetapi itu Cuma untuk tenggik untuk
sang durjana.
“ Kematian terkadang merupakan kritik
terhadap kehidupan, Jadikanlah setiap kritikan bahkan penghinaan yang kita
terima sebagai jalan untuk memperbaiki diri.”