By Lina
Zulaini
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Unsyiah
Aku
seorang pendosa, ini kata-kata yang tepat untukku. Jangankan ibadah, aku bahkan
membenci orang-orang beribadah. Sok alim. Sok suci. Itu cercaku pada
orang-orang yang menasehatiku. Aku seorang gadis yang suka bergonta-ganti
kekasih, suka memakai jeans meski siap diomelin oleh ibu, kelayapan hampir
setiap malam, kurasa itu pengaruh aku tinggal di kota.
Namun
itu semua telah menjadi kisah lamaku. Semenjak aku mengenal dan dekat dengan
seorang bidadari bernama Purnama Ratnasari. Ia seorang yang awalnya aku benci
karena sering berkomentar tentang penampilanku yang tak sesuai sikap seorang muslimah.
“Perempuan
itu lebih cantik ketika berhijab”.
Kata ajaib itu membuatku terhipnotis
hingga aku memutuskan berhijrah.
Masa
kelam, kubiarkan ia tenggelam. Kini aku sedang mengukir sejarah baru bersama
orang-orang yang kusayang, satu di antaranya Purnama, sahabat dunia akhiratku.
Aku mengenalnya ketika kami masuk kuliah. Semakin lama aku mengamatinya, semakin
kagum aku terhadap sudut pandangnya pada alam semesta ini.
“Aku
suka menunggu matahari terbit”.
Ya, menanti sang fajar adalah satu hal
favorit yang dia lihat hampir setiap pagi. Ia berkata memandang matahari terbit
membuatnya tambah bersyukur karena ia masih bisa bernapas, dan ia tak sabar
menunggu hari esok.
“insya
Allah besok pagi aku pulang ke kampung, kamu baik-baik di sini ya. Still
istiqamah cantik”.
Dia hampir selalu
membuatku bahagia dengan pujian-pujiannya. Namun, pesan singkat itu adalah
komunikasi terakhir kami yang hampir dua bulan. Berulang kali aku mencoba
menghubunginya tapi tak pernah tersambung. Mungkin koneksi jaringan di
kampungnya sangat buruk, aku mencoba menghibur hati pilu ini.
“Aku
sedang menunggu terbit fajar nih, kata kakakku mentari di sini lebih indah”.
Usai
shalat subuh aku membaca pesan singkat Purnama. Aku tersenyum. Rasanya aneh
tiba-tiba dia mengirimku pesan soal matahari terbit tanpa kabar apapun hampir
dua bulan lebih. Purnama, kamu memang penuh misteri.
Aku
menekan tombol memanggil pada telepon genggamku. Tidak ada jawaban dari
seberang, kurasa Purnama masih menikmati mentarinya.
Menjelang
pukul 07.15 WIB, aku telah siap untuk berangkat ke workshop yang kudaftar
minggu lalu. Namun sanubari ini masih memikirkan Purnama. Kucoba menghubunginya
lagi, lama aku menunggu hingga,…
“Assalamualaikum Dek Rahma,…”
Rasanya ada biji rambutan yang tersekat
di kerongkonganku. Tubuhku tiba-tiba terjatuh dan hanphoneku terlepas dari
genggaman. Purnama, mengapa kamu begitu cepat pergi? Bukankah kamu berjanji
akan menanti mentari terindahmu bersamaku?
Kabar
kepergian Purnama kudapat dari kakaknya. Purnama mengidap kanker otak stadium
akhir dan mustahil untuk disembuhkan. Impossible,
selama dua tahun kami berteman ia baik-baik saja, batinku tak percaya.
Purnama,
maaf tak bisa menyaksikan mentari terakhirmu bersamaku. Kini, setiap hari aku
duduk di jendela dan menunggu terbitnya fajar. Kamu benar Purnama, mentari itu
sangat cantik. Secantik dirimu.