Mulia wareh
ranup lampuan, Mulia rakan mameh suara.
Karya: Shiti Maghfira
Siswi Bahasa Jepang Kougetsu School/ siswa SMA Negeri 3 Banda Aceh
Hujan
mengguyur deras Serambi Makkah beberapa pekan ini. Menjadikan kota berselimut
dingin dan kabut. Kebanyakan orang memilih untuk meringkuk di rumah. Tapi bagi
sebagian orang, menikmati hujan sambil berjalan-jalan, menyuguhkan kesenangan
yang tak terkira. Di sinilah aku, pada petang, di bawah hujan, tepat di sekitar
kawasan salah satu tempat wisata Islami di negeriku, Masjid Raya Baiturrahman.
Ramai
sekali orang yang bertandang ke tempat ini. Juga para pedagang yang memenuhi
sekitaran kawasan ini. Walaupun sudah tertera papan larangan untuk berjualan,
tapi mereka sepertinya mengabaikan larangan tersebut.
Di antara pedagang tersebut, ada sejumlah perempuan yang
menjual barang yang sama. Jumlahnya lebih dari 15 orang. Sebagian menggunakan
gerobak beratap yang seragam. Di Aceh, gerobak itu disebut ‘jambo’. Di bagian
atas jambo tertulis “Jambo Ranup
Aceh”. Dalam bahasa Indonesia, ranup
adalah sirih.
Salah satu jambo tersebut milik Fatmawati dan suaminya
Husaini, pasangan suami istri ini berasal dari Sigli, Pidie. Di sudut jambo
mereka tertulis ‘Ranup Kak Fat’. Umur mereka di atas 50-an. Wajah
mereka penuh keriput. Namun bibir mereka tetap saja merah. Bukan karena gincu,
tapi akibat kebiasaan mengunyah sirih.
Di dalam jambo mereka terdapat kotak kaca yang berisi sirih
yang sudah digulung dan dibentuk kerucut dan prisma. Di ujung sirih berbentuk
prisma diisi cengkeh. Dalam kotak itu juga ada wadah plastik berisi campuran
pinang yang sudah ditumbuk kasar dengan gula dan kencur. Ramuan inilah yang
membuat sirih kerucut menjadi manis. Sedangkan sirih berbentuk prisma berisi
campuran kapur, pinang dan gambir. Bahan-bahan itulah yang membuat bibir
pemakan sirih memerah.
"Lon ka treb meukat di sinoe, ikot nek. Thon 1969 wate
mantong umu siblah thon (saya sudah lama jualan di sini, ikut nenek. Dari tahun
1969. Waktu itu umur saya masih sebelas tahun)," ujar seorang ibu yang
biasa dipanggil "Kak Fat" yang ditemani oleh Husaini, suaminya.
Jambo ranup Husaini dan Fatmawati adalah jambo bantuan yang
diberikan oleh Pertamina. Penyerahan itu dilakukan oleh General Manager Unit
Pemasaran I Pertamina Edwin Bakti dan diterima oleh Wakil Walikota Banda Aceh
Illiza Sa'aduddin Djamal.
"Jinoe ka mangat, kana bantuan jambo, dilee kamoe
meukat di ateuh meja tuha (Sekarang sudah enak, ada bantuan gerobak, dulu kami
jualan di atas meja tua)," ujar Husaini.
Hampir setiap hari Fatmawati berburu sirih di Pasar Keudah.
Jika tidak beruntung, ia harus memesan sirih kepada muge (pedagang daun sirih)
di Blang Bintang, Aceh Besar. Harga seikat sirih Rp 1.500. Setelah diracik
dengan ramuan khusus, empat buah ranup yang telah dibentuk dijual seharga Rp
1.000. Dalam sehari suami istri ini bisa mendapat keuntungan bersih Rp 20 ribu
hingga Rp 30 ribu. Itu sudah dipotong ongkos transportasi Rp 16 ribu dari rumah
ke Masjid Baiturrahman.
"Mehai bacut, sebab lon ba barang, sayang gob dimita
peng cit lagee tanyoe. Na cit untong bacut, meunyo leu nyang lagoet (Agak mahal
ongkos becaknya, karena saya bawa banyak barang, kasihan, kan mereka cari uang
juga seperti kita, ada juga untung sedikit, kalau ramai yang beli)," kata
Fatmawati, sambil melayani pembeli.
Ranup dijual dengan berbagai rasa. Ada yang manis dan
pahit-pahit pedas, atau yang asli. Sirih untuk rasa manis dibuat dari jenis
seulasih. Warna daunnya hijau pekat, ukurannya daunnya lebih kecil dan
mengkilap. Sirih dengan rasa manis mulai banyak digemari sejak 10 tahun lalu.
Sedangkan sirih yang digunakan untuk jenis kedua, warna daunnya lebih pudar dan
lebar. Di Aceh, sirih ini dikenal dengan nama ranub cot iku. Karena bagian
ujung daun yang mencuat.
“Ranup mameh
rame yang galak, hana tamah gapue, jadi han mabok. Aneuk muda leubeh galak
ranub mameh (Sirih manis ramai yang suka, karena nggak ada tambahan kapur, jadi
nggak membuat pusing. Anak muda juga lebih suka sirih manis),” katanya.
Di jambo ‘Ranup Kak Fat’ ini juga menjual buah pinang yang
besarnya rata-rata seukuran jempol kaki orang dewasa. Harganya murah. Satu biji
pinang ia jual Rp 300. Dalam satu hari Husaini paling banyak hanya bisa
mendapat Rp 5.000 dari menjual buah-buah pinang itu.
“Pineung nyan,
rame nyang bloe untuk ubat. Saket maag, na cit untuk penambah stamina, rame
yang peusan, seubab payah meuteume pineung nyan. (Pinang muda itu banyak yang
cari. Karena bisa untuk obat maag, untuk penambah stamina. Ramai yang pesan,
karena susah untuk mendapat pinang muda),” katanya.
Dari hasil berjualan ranub, Husaini dan Fatmawati berhasil
menyekolahkan keempat anaknya, Nurhafni yang duduk di kelas dua Madrasah Aliyah
Negeri (MAN), Ibnu Fajar kelas satu MAN, Zulqhaiah kelas dua Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTSn) dan si bungsu Fajri Maulizar di pesantren Ampe Awe,
Aceh Besar. Harga barang yang terus meningkat membuatnya semakin kewalahan
mencukupi kebutuhan hidup, termasuk biaya sekolah.
"Biasanya sebelum naik harga barang bisa
dicukup-cukupin, sekarang sudah semakin susah),” keluh
Husaini.
Di samping Masjid Baiturrahman, gerobak pedagang ranup
terlihat berjajar-jajar. Selain berjualan ranup, Husaini dan Fatmawati juga
menerima pesanan ranup dalong. Rangkaian sirih yang mempunyai beragam bentuk.
Harga ranup dalong lebih mahal, antara Rp 100 hingga Rp 200 ribu. Tergantung
bentuk rangkaian dan tingkat kerumitan. Tapi pembeli ranup dalong tak begitu
banyak.
Menjelang magrib, rintik hujan menipis. Hanya menyisakan
genangan air yang tak sedap dipandang mata. Aku membeli beberapa buah ranup
sebagai tanda terima kasih telah berbagi cerita denganku. Lembayung senja
semakin jelas, para pedagang buah-buahan membereskan dagangannya. Tak lama
kemudian tempat mereka digantikan pedagang sepatu, penjual jam, dompet, tali
pinggang serta buku. Dagangan mereka hampir memenuhi badan jalan. Namun Husaini
dan Fatmawati masih setia dengan sirihnya. Mereka baru akan dijemput becak
motor langganannya tengah malam nanti. Becak motor itu akan mengantarkan
Husaini dan istrinya, Fatmawati ke rumah mereka di Peuniti, yang dibangun dari
jerih payah mereka berdua menjual ranup sambil melestarikan budaya Aceh yang
kian hari semakin terlupakan.