Oleh Fajar Alumnus Pendidikan Sejarah, FKIP, USK Banda Aceh Roky baru bilang kitab suci fiksi keluarga Fir'aun pada kepanasan. Kita tunggu keluarga Balaam dan Qarun. Apakah mereka mengambil bagian juga dalam kesempatan hidup yang tidak sebesar sayap nyamuk, bahkan miris jika otak tidak digunakan kenapa Namrud mati dengan seekor nyamuk. Mereka yang tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu, maka sama sulitnya untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan (hukum silogisme). Sesulit dan se-samar apapun yang terjadi hari ini adalah :"harapan" untuk mempersiapkan akan hari esok. Lantas apa yang disandiwarakan oleh realita itu sebagian manusia hanya terpaku pada hal-hal yang tidak tercerahkan. Ketika terbangun, hidup di dunia yang keliru. Ketidakmampuan akan dirinya untuk menyingkapi realita perubahan (semiotik), percaya bahwa orang lain bisa mengatasinya. Hal-hal yang seperti ini adalah kebiasaan yang buruk di antara yang terburuk, ini tidak layak untuk dikatakan agama (eksistensialisme fundamental) Jadilah cermin yang memantulkan cahaya untuk realita, bukan membelakanginya (metafora). Manusia adalah bentuk kejadiannya yang telah disempurnakan, diciptakan memiliki potensi untuk menciptakan apa yang sudah terciptakan. Kekeliruan ini terjadi bilamana sesuatu yang telah terciptakan itu diciptakan oleh manusia sebagai sesembahannya. Obat untuk menyembuhkan penyakit ini tidak bisa dibarterkan, dia ada dalam setiap umat manusia, kaum sufisme menyebutkan "cinta", temui-lah itu di dalam syari'at, tarekat, hakikat, ma'rifat. Ketika engkau telah menempuh jalan itu (cinta), jangan beri ia nama, karena itu hanya membatasinya, sesuatu yang tidak terbatas tidak mungkin dibatasi dengan nama. Syari'at, dan tarikan hanyalah suatu kendaraan, sebagaimana amsal-amsal dari Farrirudin Attar. Bagi Attar, beragama berarti melakukan perjalanan. Agama itu seperti kuda. Kuda yang semestinya sebagai kendaraan dipergunakan untuk menempuh perjalanan menuju titik tujuan tertentu. Namun sayangnya banyak pengendara kuda yang melupakan tujuan dan menganggap bahwa menaiki kuda adalah tujuan nya. Dan jika kita merujuk pada amsal Ibn Thufail: "manusia memiliki potensi yang amat mengagumkan untuk tumbuh dan mengembangkan kualitas akalnya. Itu akan terjadi bila potensi akalnya diasah secara tajam, ia akan mengantarkan seseorang menjadi filosof maupun sufi". adapun jika kita merujuk pada amsal dasar manusia yang binatang-pun memilikinya adalah:"manusia makhluk yang memiliki insting untuk membela, anda dan saya sama-sama tidak suka menjadi subjek yang dicela, entah kita berhak untuk mendapatkannya atau tidak (Dale Carnege). Dengan demikian manusia perlu dipahami secara mendalam. Secara pribadi, dalam proses berpikir dan berperilaku, orang mencoba untuk memecahkan masalah dikotomi tersebut. Upaya ini dapat dilihat dalam bentuk karakter dan orientasi yang diinginkan. Situasi konflik manusia dengan sikap fundamentalnya. Erich Fromm memecahkan masalah yang relevan dengan membuat konsep memilih untuk 'menjadi' atau 'memiliki'. Menurut saran dari Erich Fromm dengan memiliki karakter menjadi, individu umat manusia tidak mengalami penderitaan sebagaimana olang-olang yang memilih untuk memiliki. Keistimewaan menjadi ini persis seperti syairnya Rumi. Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka, maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan. Jika engkau hanya mampu merangkak, maka merangkaklah kepada-Nya! Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk, maka tetaplah persembahkan doamu yang kering, munafik dan tanpa keyakinan; " karena Tuhan, dengan rahmat-Nya akan tetap menerima mata uang palsumu! Jika engkau masih mempunyai seratus keraguan mengenai Tuhan, maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja. Wahai pejalan! Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji, ayolah datang, dan datanglah lagi! Sebab Tuhan telah berfirman: “Ketika engkau melambung ke angkasa ataupun terpuruk ke dalam jurang, ingatlah kepada-Ku, karena Aku-lah jalan itu.” #Jalaluddin Rumi (Puisi diambil dari “Suluk” Herry Mardian). Ketidakmampuan umat manusia era sains teknologi global, menjadi cermin yang memantulkan cahaya. Erich Fromm menganalisis situasi masyarakat modern yang bekerja mengikuti dua prinsip utama. Pertama, bila sesuatu itu dimungkinkan secara teknis, itu akan dikerjakan. Prinsip ini menunjukkan ketidakwarasan umat manusia pada nilai-nilai yang luhur, yang mengakibatkan bila nuklir itu dapat diciptakan secara teknis maka nuklir itu pun diciptakan tidak peduli meskipun dapat memusnahkan umat manusia. Kedua, apa yang menghasilkan peningkatan efisiensi dan produksi itulah yang harus dikerjakan. Prinsip ini mengenai produksi. Adapun produksi yang dijalankan oleh masyarakat modern adalah:" lebih banyak lebih baik". Ketika prinsip ini diamalkan dalam kehidupan umat manusia, kuantitas menjadi standar utama, dengan mengabaikan kualitas dan ini dapat kita rasakan realita baik itu dalam urusan politik, ekonomi, bahkan agama sekalipun tidak tertutup kemungkinan kuantitas adalah standar utama masyarakat modern, dengan demikian tidak mengherankan jika seseorang mendatangi ahli bukan karena keahlian seseorang, tetapi karena banyak orang yang mendatanginya. Dalam kondisi yang demikian rumitnya kehidupan ini, yang sesak akan penderitaan yang dipenuhi dengan berbagai tipu daya, tawaran iklan-iklan yang sejatinya bukan kita inginkan melainkan karena lagi ngetrend, ada baiknya kita memperkuat pondasi keimanan dengan tidak mengabaikan makna filosofisnya. Dalam hal ini, Saia mengutip sintesa dari Ibn Zamanihi kata beliau:"manusia yang terbelenggu waktu, manusia yang bebas sebebas-bebasnya, manusia yang mawas yang sadar akan tanda-tanda. Sesamar apapun tanda itu, bahkan gelap sekalipun kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan di masa depan". Ini adalah harapan disertai dengan keyakinan yang teguh atau konsisten yang ada tempat bersandarnya yang sudah lengkap dan sempurna dipercayai umat manusia terdahulu hingga sekarang, yaitu : "keimanan" |
Click to comment
Langganan:
Posting Komentar (Atom)